LARUNG LAUT SEBAGAI TRADISI KONSEPTUALISASI BUDAYA LOKAL BERBASIS KEISLAMAN

 


 


Negara dengan beribu ribu pulaunya serta keanekaragaman yang mewarnai dari setiap khas daerah masing masing, semua itu terbungkus rapi dalam satu semboyan Bhineeka Tunggal Ika. Indonesia, yang dijuluki sebagai negara megabiodiversitas dengan segala kekayaan alam flora fauna yang melimpah tak luput juga di dalamnya terdapat ciri khas yakni masyarakatnya yang terkenal dengan memiliki rasa spiritual yang tinggi. Rasa spiritual ini berangkat dari suatu hal yang dinilai mistis (mistisisme) yakni suatu kepercayaan dengan ajaranya bersifat sembunyi, rahasia, gelap yang mana di dalamnya terdapat pemahamaan yang hanya orang orang tertentu saja yang bisa mengerti (Lestari, 2017).Rasa spiritual ini pun juga memicu terbentuknya perilaku yang spiritual juga, oleh karenanya terdapat kesatuan dari pemikiran yang mistis dan juga perilaku yang mistis juga dimana alam sekitar menjadi pengaruh kuat atas dasar itu semua. Dengan begitu, masyarakat Indonesia memilki hubungan khusus dengan lingkungan ( alam ) di sekitarnya (Windyasari, 2012) Akhirnya daripada itu, terciptalah semacam aktivitas dari tradisi masing masing daerah dimana terdapat unsur pengaruh lingkungan dan unsur religius ( mistik )yang biasa disebut sebagai ritual upacara adat.

Pulau Jawa memiliki ritual upacara adat dimana di dalamnya terdapat peribadatan khusus yang dimaksudkan dan ditujukan khusus untuk alam. Salah satu dari macam upacara adat di wilayah Jawa ini dikenal dengan sebutan kenduren. Kenduren berasal dari kata kenduri yang dalam arti KBBI berarti penjamuan subuah hidangan dalam rangka memperingati suatu peristiwa tertentu yang dilakukan beramai ramai orang dengan maksud untuk mencari keberkahan ataupun yang lainya. Sebagaimana contoh tradisi kenduren ini berada di wilayah DesaTasikmadu, Kec. Watulimo, Kab. Trenggalek. Daerah menjadi salah satu bentuk konseptual acara kenduren yang diadakan berkaitan erat dengan alam sekitar yang mana mengingat latar belakang geografis dari daerah ini berada di pesisir laut, maka kenduri ini sebagai manifestasi rasa syukur atas segala kelimpahan nikmat yang bersal dari laut. Upacara ini biasa disebut dengan Larung Sembonyo atau Larung Laut.

Latar belakang munculnya Tradisi Sembonyo ini dimaksudkan sebagai penghormatan dan pemintaan keselamatan bagi penduduk Desa Tasikmadu, selain itu warga meyakini apabila ritual ini tidak lagi dilakukan, maka akan membawa dampak buruk berupa tertimpanya musibah di desa mereka dan hal ini akan mengancam kelangsungan hidup para leluhur mereka mengingat asal mula Desa Tasikmadu tidak lepas dengan kehidupan mistis (Daniel, 2015). Maksud pemberian sesaji tersebut ditujukan kepada penguasa laut agar diberi keberkahan dan keselamatan kepada penduduk Tasikmadu, dan tanda syukur atas segala nikmat berupa hasil laut yang menjadi penujang mata pencaharian penduduk sekitar yakni sebagai nelayan.

Dewasa ini proses upacara adat tersebut memiliki problematika yang menjadi tolak ukur pertimbangan apakah acara hal tersebut dibenarkan dalam syariat Islam mengingat di dalam acara tersebut mayoritas masyarakat muslim juga ikut andil. Sebagaimana dalam runtutan ritualnya, didapati pemimpin acara yakni seorang kyai atau seseorang yang diaggap alim di bidang agama, sehingga lantunan doa yang dibaca masih terikat dengan tradisi Islam. Terdapat juga acara karawitan yang diisi dengan pujian pujian sholawat nabi yang didendangkan bersama sama oleh penduduk sekitar. Ditelisik dari ritual tersebut didapati seuatu kebudayaan yang berbau mistis dipadukan dengan budaya Islam, sehingga dari kedua konsep yang sangat berlatarkang belakang ini sebagian masyarakat menilai hal ini merupakan perbuatan yang syirik karena mencampuradukan unsur animisme dan dinamisme(Lestari, 2017).

Sebelum membahas lebih lanjut, perlu kita pahami bahwa simbol Islam rahmatal lil ala’min menjadi jembatan dari semua permasalahan yang ada. Sikap wasathiyyah yang tertanam dengan mengabadikan maqalah “ al mukhafadhatu ‘ala alqadimi as shalih wal akhdzu bil jadidi al ashlahi” yakni, melestarikan tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik. Meskipun dalam faktanya tradisi ini besifat absolut bersifat relative tentative sehingga perbedaan keduanya tidak dapat dinegosiasikan, namun ada beberapa point penting yang dapat kita observasi lebih lanjut korelasi budaya dengan agama sehingga kedua hal ini tidak menjadikan permasalahan yang begitu rumit

Dimulai dari penanaman kepercayaan (faith) yang terdapat dalam ritual Larung Sembonyo itu sendiri. Pada sejarahnya penghormatan dan persembahan larung laut diberikan dengan tujuan sebagai bentuk sesaji yang ditujukan kepada penguasa laut, maka dengan ini dapat dikonversikan dengan konsep penguatan tradisi budaya dibarengi dengan napas islami, sehingga niat yang awal mulanya bersifat mistisme diubah dengan kepercayaan Iman yang dimaksudkan untuk penghormatan yang ditujukan kepada Allah Sw sehingga dengan begitu tidak terdapatnya unsur syirik dalam pelaksaan tradisi tersebut dan adanya sesuaian dengan syariat Islam tanpa mengubah sedikitpun dari runtutan ritualnya. Sehingga dalam hal ini terciptalah produk pokok yang dinamakan sinkretisme, yakni pertemuan satu budaya dengan yang lain sehingga menghasilkan produk budaya baru yang bisa dianut oleh masyarakat luas.

Point berikutnya, bila sesaji tersebut di pesembahkan kepada Allah apakah ini juga termasuk suatu tindakan menyekutukan Allah dengan menyamakan dengan makhluk hidup yang juga membutuhkan makan dan minum?. Awal dari sini haruslah dipahami, memanglah persembahan tersebut sebagai penghormatan dan meminta keberkahan kepada Allah swt, akan tetapi untuk masalah sesaji bukanlah semata mata ditujukan kepada Allah swt. Dengan sifat mukhalaful lil khawaditsi nya Allah swt. tidak mengantungkan bantuan dari makhluknya, apalagi meminta sedekah dengan sesaji. Oleh karena itu, pengubahan mindset kepercayaan dalam pemberiaan sesaji ini ditujukan hanya untuk sarana sedekah kepada makhluk hidup terutama yang berada di laut. Dengan begitu hal ini tidak dapat menjadikan suatu unsur pertentangan mengenai akidah Islam.

Selanjutnya mengenai sajian yang dihidangkan dalam ritual harus berupa makanan ataupun minuman yang diperbolehkan dalam syariat Islam. Tidak boleh menyajikan makanan ataupun minuman yang haram mengingat rangkaian ritual ini dikorelasikan dengan islam dan sesaji yang dipersembahkan ini nantinya juga dibagikan kepada masyarakat sekitar, sehingga makanan tersebut harus benar benar memenuhi verifikasi kehalalan. Begitu pula dalam penyembelihan hewan yang dikurbankan juga harus memenuhi adab dan syarat terhadap penyembelihan hewan. Karena apbila hewan yang disembelih memenuhi kriteria sesuai syariat dan dilakukan berdasarakan tata cara yang telah diajarkan agama Islam, maka hewan tersebut baru bisa dikatakan halal dan boleh dikonsumsi.

Tiga point penting tersebut mengenai sinkronisasi antara ritual budaya dengan syariat Islam dapat dipahami bahwa permasalahan ini dikaji dalam kajian fikih Aswaja. Ahlusunnah Wal Jama’ah ini atau sering kita sebut dengan aswaja mengajarkan fikih yang dalam istilah terminology menurut ahli fikih memiliki makna “ suatu ilmu yang berasal dari istinbat terhadap dalil dalil yang terperinci sehingga menghasilakan keilmuan hukum yang bersifat amali (lahiriyah)”. Keilmuan fikih ini membahas mengenai ibadah (hubungan hamba dengan tuhannya), muamalah, (qonnun madani) atau hubungan antar manusia dan pembahasan mengenai makanan, minuman, pakaian, dll (hazhr wa ibahah). Ketiga kajian di dalam keilmuan fikih tersebut dapat diinterpetasikan dalam mengkolaborasikan suatu budaya dengan agama sehingga tidak menjadikan antara dua unsur menjadi pertentangan. Hal ini juga menjadi tindakan preventif dalam upaya membuat perubahan baru terhadap suatu budaya tanpa mengubah tradisi yang lama dengan di sesuaikan dengan syariat Islam.

Oleh karena itu dengan bercermin dari sejarah Wali Songo yang mendakwahkan Islam dengan cara yang humanism yang juga dibarengi dengan keragaman culture lokal, sehingga upaya tersebut memudahkan masyarakat sekitar menerimnya dengan baik. Hal inilah yang dinamakan Addinul Islam sebagai jembatan interaksi antara agama dengan kebudayaan dan tradisi leluhur dengan keberagaman. Sebagaiamna Gus Dur mengungkapkan “ Islam datang bukan untuk merubah budaya leluhur kita menjadi tradisi Arab, akan tetapi dengan keberagaman budaya yang kita miliki justru harus dipertahankan dengan filtrasi dalam ajaranya, bukan budayanya”. Wa’allahu’alam bis showab.


Komentar