Dalam berkehidupan semua pasti ada tatanan dan aturanya. Pun dalam
lingkup sosial, bermuamalah,
beribadah dan lain sebagainya pasti ada batasan batasan tolak ukurnya. Tidak bisa manusia hidup sendiri,
karena sejatinya manusia adalah makhluk sosial
yang masih membutuhkan ulur tangan dari orang lain. Begitupun manusia tidak bisa mengkuatkan dan menenangkan dirinya
sendiri dari berbagai
masalah yang menghampiri dengan tanpa adanya sesuatu
yang bisa dijadikan sandaran, yakni dengan tuhanya.
Sudah sedemikian rupa diatur dalam hablum minallah dan
hablum minnash. Dan semua
konsep kehidupan tersebut
sudah diaturlah pada kalamNya yang sudah beribu ribu abad diturunkan dan masih terjaga
keorisinilnya, yakni kitabullah,
kitab Al Qur’an. Interkoneksi antara
manusia dengan Al qur’an inilah yang menjadikan kehidupan akan lebih terjaga dan tertata, sebagaimana dalam Qur’an sendiri
sudah dijelaskan bahwasanya “ dzalikal
kitabulaa roibafih, huddal lil muttaqin
“ (Qs. Al Baqoroh : 2-3).
Kontekstualisasai
penerapan Al Qur’an dalam berkehidupan ini menjadi sebab dari alasan hadirnya ilmu penafsiran dari Al Qur’an itu sendiri.
Dengan munculnya berbagai gaya, corak, dan metode dalam penafsiran, semua itu tidak lepas dari perkembangan zaman dimana akan menghasilkan produk
tafsiran yang relevan
di masing masing
zaman tersebut. Dengan begitu dibutuhkanlah penyederhanaan atas bahasa kalamullah
untuk dapat dipahami
oleh umat manusia.
Selain dari itu, alasan dari munculnya disiplin
ilmu tersebut dikarenakan memanglah Al Qur;an sejatinya diturunkan dengan muhkam dan mutasyabihat atas
kehendaknya Nya, dengan begitu seakan
akan membuat ruang untuk munculnya berbagai produk tafsir dengan berbagai macam prespektif. Dan dalam hal ini satu
hal yang perlu ditekankan adalah dengan banyaknya ikhtilaf tersebut tidak menjadikan persoalan
yang begitu rumit, karena kembali
lagi bahwasanya Al Qur’an itu statis akan tetapi penafsiranya bersifat dinamis.
Dengan begitu, dengan banyaknya penafsiran kita boleh mengikuti salah
dari semuanya, tanpa menafikan
penafsiran yang lain selama masih dalam koridor kaidah tafsir yang sesuai.
Dalam
sejarahnya, pada masa nabi penafsiran ayat ayat Al Qur’an langsung berasal
dari nabi. Dengan begitu bila para sahabat
menanyakan suatu hal tentang penjelasan suatu ayat, nabilah yang
langsung menjelaskanya tanpa adanya pertentangan satu pun, meskipun di dalam Al Qur’an pun didalamnya terdapat
perihal nasikh mansukh, lafadz yang musytarak, wujuh, nadhor’i dsb. (Hamam & Thahir,
2018). Disinilah nabi berperan menjadi mufassir pertama dalam
Islam. Akan tetapi setelah wafatnya nabi, lalu
dengan munculnya berbagai masalah
masalah yang didalamnya juga menjadi perselisihan tentang sebagian kecil pemaknaan pada Al Qur’an,
seperti pada masalah
tentang keharaman pada makanan, lalu tentang permasalah seputar talak, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn Abbas bahwasanaya Nabi
Muhammad saw. pernah menjelaskan
tentang menghukumi talak satu, akan tetapi pada masa Umar bin Khattab menghukumi jatuh pada talak
ketiga karena dilatarbelakangi oleh beberapa sebab.
Nah dari sinilah munculah
beberapa madrasah tentang
kajian Al Qur’an ini dimana dengan disebarkanya di beberapa daerah
dengan dipimpin oleh beberapa sahabat,
antara lain madrasah di Makkah dalam asuhan Ibn ‘Abbas ra., madrasah di
Madinah dalam asuhan Ubay bin Ka’ab
ra., dan madarasah di Irak dalam asuhan ‘Abdullah bin Mas’ud ra. Maksud dari
penyebaran madrasah ini yakni untuk penyebarab pengajaran Al Qur’an dan meminalisir
dari tersebarnya penafsiran Al qur’an yang jauh dari kaidah baik
dari segi lafadz dan pemaknaanya. Dengan begitu akan terhapusnya dari
pemalsuan Al Qur’an dsehingga
terjadilah poenyeragaman dari bacaan ayat ayat al qur’an tersebut sesuai dengan latar belakang geografis dan
kultur masyarakat setempat. Dan disilah titik
awal muncul dari perkembangan tafsir itu sendiri mulai dari sumber,
metode, corak, maupun yang lainya
seputar disiplin ilmu tafsir
itu sendiri.
Dari sekilas sejarah perkembangnya penafsiran Al Qur’an tersebut ada suatu pertanyaan yang mendasari dari apa bahasan pada tulisan kali ini yakni, “ jika tafsir itu berarti menjelaskan tentang pemahaman suatu ayat, lalu apakah bisa dikatakan bahwasanay Al Qur’an itu tidak jelas, sehingga dibutuhkanya penjelasan untuk menunjang dari maksud ayat al Qur’an tersebut? bukankan dalam Al Qur’an itu sendiri sudah di memperkenalkan dirinya sendiri bahwa Al Qur’an adalah kalam mubin, yang berarti perkataan yang jelas dan nyata sebaigama sifat dari Al Qur’an itu sendiri yakni sebagai nur ( cahaya petunjuk)?
Pastilah
kita jawab dengan kemantapan hati bahwa Al Qur’an jelas dan tidak ada satu keraguan pun didalamnya. Akan
tetapi dalam memahami Al Qur’an tidak bisa menggunakan pancaindra yang secara langsung
sehingga tidak sembarangan orang dapat menafsirkanya, karena tabir tabir inilah yang memberi hijab pada hadapan
hati, pandangan dan ruh bagi
yang membacanya. Dan adanya tabir ini bermacam macam bentuknya, mulai dari akhlak maz’umah, seperti
hati yang sombong,
iri, dengki sehingga
hal tersebut melahirkan sifat fanatik. Lalu juga bisa dari pandangan
seseorang yang patriarki,
diskriminasi dan apapun itu yang memberi hijab dari keagungan Al Qu’an itu sendiri. Dengan begitulah betapa
dibutuhkanya seorang mufassir dengan memikili skill ilmu yang mumpuni
dan juga jauhnya dari akhlak mazmumah tersebut
dalam upaya menafsirkan Al Qur’an.
Dengan pendekatan ilmu ulumul
Qur’an tersebut, hal ini menjadi
syarat dalam menyingkap tafsiran makna dari ayat Al Qur’an (Muhammad, 2013).
Karena urgentnya kedudukan mufassir dalam berkontribusi menafsirkan ayat ayat Al
Qur’an, sehingga menghasilkan produk
tafsiran yang relevan digunakan maka dari ini,
hubungan antara mufassir denagn produk tafsir sangatlah dibutuhkan kehadiranya dalam menghadapi permasalahan permasalah di ranah masyarakat ini. Yang mana dalam hal ini tidak semua orang memiliki ilmu yang berkompeten dalam menfsirkan Al Qur’an. Banyak
ayat ayat yang mutasyabihat yang masih sukar
dipahami oleh masyarakat, sehingga dengan kesukaran dan kesenjangan
dalam mendakwakwah Al Qur’an, maka munculah
banyaknya pemahaman pemahaman yang menyimpang dari oknum oknum yang tidak bertanggung jawab, sehingga hal ini dapat mengintimidasi pemikiran
pemikiran masyarakat muslim yang masih
awam.
Dengan
begitu dihadirkanlah “ tafsir Al Qur’an “ yang menjadi urgensi dalam berkehidupan di masyarakat, yang mana pengaplikasianya di ranah manapun.
Sebaimana yang sering kita
sebut sebagai “ living Qur’an “ yakni dimana pengamplikasian dari Al Qur’an sebagai teks teks yang hidup, bukan
teks yang mati, yang mana dimulai dari Al Qur’an
berupa firman (spoken word) lalu
berkembang dijadikanya scripture (kitab)
dan kini menjadi literature
(Ali, 2015). Maksudnya, pendekatan ini lebih ke penekanan fungsi
Al Qur;an sebagai petunjuk dan rahmat untuk umat manusia, terutama
kepada orang orang yang beriman,
sehingga Al Qur’an terkontekstualkan pada kehidupan sehari hari. Sebagaimana dapat direfleksikan dalam persoalan persoalan dalam dimensi partikal (Ali,
2015), yakni seperti
penyembuhan dari jasmani
dan ruhani (psikoterapi), dalam kepentingan
bisnis dan ekonomi, pendidikan, budaya tradisi, sains, hukum, seni, sastra, bermuamalah, dst. Semua itu membuktikan
berkecimpungya Al Qur’an dalam mengatur tatanan kehidupan sosial ini.
Adapun salah satu dari living Qur’an yang paling menonjol
dalam kaitan ini, yakni tentang
berpengaruhnya dalam tradisi
budaya. Dalam budaya Jawa, perihal
tentang masa masa kehamilan, ada upacara upacara
khusus untuk menyambutnya sebagai penghormatan
atas akan lahirnya si jabang bayi tersebut. Dalam tradisi ini, ada beberapa upacara
dalam rangka mendo’akan seputar kebaikan untuk si jabang
bayi, seperti adanya
acara mapati yang ditandai
dengan kehamilan satu sampai lima bulan, tingkepan
untuk menandai usia kehamilan 7
(tujuh ) bulan, Upacara mrocoti disertai
upacara tradisi ndadung untuk menandai
masa kemamilan 9 (Sembilan), lalu bila sampai
sembilan bulan belum lahir dan memasuki usia kehamilan
10 (sepuluh), maka dilaksanakanlah upacara ndaweti (Suliyati, 2012).
Dari
dilaksanakanya upacara upacara tersebut, selain dibarengi dengan adat adat yang sudah berlaku, didalamnya juga
dimasuki unsur unsur syariat islam, yakni dalam acara tersebut adanya pembacaan pembacaan do’a - do’a, lalu
sholawat nabi, surat surat tertentu dalam Al Qur’an seperti surah yusuf, maryam, Muhammad, yasin dst.
Kenapa yang diambil hanya surah surah tertentu,
karena dilatarbelangi dari yang penjelasan awal, yakni sudah adanaya
penafsiran penafsiran dari Al Qur’an dimana dapat diambil i’jaz nya
untuk keutamaan dalam beberapa
perihal tersebut, seperti
pembacaan surah yusuf, dimana dalam Al qur’an dan penafsiranya pun menjelaskan bahwasanaya
Nabi Yusuf merupakan nabi yang sangat tampan, sholeh, baik akhlak budinya. Dan
dengan inilah diharapkan harapan harapan doa itu kepada si jabang bayi tersebut.
Sebenarnya tidak ada hadist ataupun perintah secara kontekstual dalam hal tersebut, akan tetapi bila dilihat dari pemahaman komtemplatif, dimana tradisi ini terinspirasi dari surah Al A’raf : 189 (Wahidi, 2013) sebagaimana yang berbunyi : Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur".
Lalu dilanjut dengan hadits riwayat Ahmad (14050) yang dishohihkan oleh Syuaib al Arnauth yang mengatakan: “ Yusuf diberi setengah ketampanan”
. Dengan inilah dalam tradisi upacara kehamilan selalu menganjurkan
untuk istiqomah membaca
surah Yusuf, karena diharapkannya kebaikan
kebaikan seperti halnya
pada Nabi Yusuf itu sendiri.
Selain
daripada itu, ada bahasan pokok tentang kaitan hadirnya penafsiran Al Qur’an sebagai jembatan untuk
merefleksikan di kehidupan dunia ini, salah satunya di bidang habluminallah,
yakni tentang pionir dari islam itu sendiri yakni rukun islam. Sebagaiamna yang kita ketahui dalam islam
memilki lima dasaraan dalam beragama yakni membaca
syahadat, mendirikan sholat,
menunaikan zakat, melaksanakan puasa dan yang terakhir pergi ke Baitullah (bagi
yang mampu). Nah dalam hal ini sudah menjadi
bukti nyata antar hubungan produk penafsiran Al Qur’an dengan keadaan
disaat kita manaungi kehidupan
di dunia ini. Dengan terhubungnya anatar kedua ini. Maka disebutkanlah dengan gagasan “ living
Qur’an”’
Sebagaimana yang kita ketahui, tidak adanya penjelasan secara terperinci di dalam Al Qur’an tengan bagaiamana tata cara kita beribadah dengan baik yakni mulai dari apa isi dari syahadat itu sendiri, lalu dalam sholat, bagaiaman cara sholat yang baik sesuai yang telah diperintahkan dalam Al Qur’an tersebut, bagaiamana takaran disaat kita akan berzakat, bagaiaman ketentuan batasan dari orang yang berpuasa dan bagaiamana ketentuan dari rukun islam kelima yakni haji. Nah dalam hal ini, muncullah satu bahasan penafsiran dari ayat Al Qur’an dari apa yang telah diperintahakan di dalamnya, dengan keilmuan khusus dan keijtihadan dari ulama dengan mengutip dari berbagai sumber.dengan begitu sangat terasa urgensi dari hadirnya produk produk tafsir yang membantu masyarakat dalam menaungi dan menahkodai di dalam kehidupan ini.
Oleh
karena itu, dapatlah kita simpulakn dengan keterbatasan akal yang dimilki, terbatasnya ilmu yang belum mumpuni dan terbatasnya kriteria
lainya apapun itu, dengan itu semua memberikan penyadaran, butuhnya penafsiran yang tekstual maupun terkontekstual dengan
dibarengi hadirnya seorang
mufassir dalam mendakwahkan ajaran ajaran dalam Al Qur’an itu sendiri.
Karena kita sadari,
dengan adanaya tabir sebagaimana yang
telah di jelaskan
diatas dimana tabir itulah yang membatasi pemahaman kita tentang arti dan maksud dari ayat Al Qur’an itu
sendiri, maka tidak boleh sembrangan dan sesukanya
dalam penafsirkan ayat ayat Al Qur’an, apalagi
menjustifikasi penafsiranya itu sendiri seolah
olah kalam tuhan terwakilkan atas semua argumenya.
Lalu setelah itu, jika sudah tersedianya penafsiran penafsiran ayat ayat Al Qur’an tersebut karena dilatarbelakanginya
dengan menyerderhanaan agar apa yang dimaksud
dalam ayat tersebut mudah dipahami, maka langkah selanjutnya yakni
bagaiamana Al Qur’an itu hidup dalam
sanubari kehidupan, bukan terkekang dalam konsep teks yang seakan akan seperti ongokan kertas.
Disinilah munculnya living Qur’an yang mana perkembanganya
sudah meranah dalam masyarakat terutama pada unsur unsur budaya. Dalam hal ini tidak perlu dikhawaatirkan
karena selama itu masih dalam batas akidah islam
dan tidak adanya penyimpangan dari konteks konteks ayat ayat a, maka hal ini diperbolehkan, dengan kata lain hal ini
menjadi bukti adanaya akulturasi dari unsur keduniawian dan unsur keakhiratan.
Inilah yang disebut living Qur’an dimana Al Qur’an tumbuh dan hidup ditengah tengah kehidupan masyarakat dengan sadar atau tanpa disadari oleh masyarakat itu sendiri. Interpretasi inilah yang membangun kekokohan dalam bergama dan lebih mempersatuan antar sesame umat dalam mengarungi kehidupan ini. Dengan inilah mukjizat Al Qur’amn yakni benar benar terjaga keaslianya dari dulu hingga sekarangpun, sehingga dengan ini benarlah adanya firman Allah swt. sebagaimana dalam Al Qur’an telah disebutkan dalam Qs Al Hijr:9 yakni yang artinya :
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.
Wallahu’alam bi showab.

Komentar
Posting Komentar